Kesempurnaan Hidup Bukan dari Materi

Posted by gadhing Property 0 comments
Kesempurnaan hidup setiap manusia sesungguhnya tidak didasarkan pada penguasaan atas materi atau hal-hal kebendaan. Hanya pada kondisi kemampuan melepaskan diri dari ikatan kebendaanlah, maka harkat, martabat, dan derajat kemanusiaan dapat ditingkatkan.
Kondisi semacam itu pada konteks kekinian mendahului proses pencapaian keadaan yang disebut manunggaling kawula lan Gusti. “Pada gilirannya, meningkat pula keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan seluruh bangsa,” kata ahli dan konsultan bahasa, sastra, dan budaya Jawa Kuno, Budya Pradipta, dalam makalahnya “Manunggaling Kawula Gusti menurut Serat Wirid Hidayat Jati dan Pengembangannya dalam Kenyataan Hidup Sekarang”, salah satu makalah yang diseminarkan dalam Pantheisme-Manunggaling Kawula lan Gusti dalam Naskah Nusantara di Auditorium Perpustakaan Nasional Jakarta, Kamis (6/9).
Menurut dia, kondisi yang manunggal dapat dicapai ketika seseorang masih hidup. Manunggal dalam arti kehendak manusia dengan karsa Tuhan. Kondisi itu merupakan ciri kualitas tinggi manusia. Sebaliknya, pada tingkatan kualitas manusia yang terendah, perilakunya di antaranya masih diliputi keserakahan, menang sendiri, pendendam, dan tidak jujur. “Seseorang yang dapat manunggal hidupnya dibimbing sukma sehingga bahagia lahir dan batin,” katanya.
Secara khusus, para peserta seminar dua hari mempertanyakan kaitan bencana silih berganti akhir-akhir ini dengan kehidupan warganya. Sebagian menarik kesimpulan bahwa hal itu disebabkan oleh perilaku pejabat dan masyarakat yang tidak manunggal dengan kehendak Tuhan. Pertanyaan lain, keterkaitan kondisi manunggal yang juga merupakan kesadaran keilahian apakah menjamin kondisi masyarakat adil makmur.
Ahli Jawa Kuna yang juga rohaniwan pada Pusat Spiritualitas Giri Sonta Ungaran, Kuntara Wiryamartana, mengatakan, baik tidaknya kondisi suatu komunitas tergantung dari jumlah individu yang memiliki nilai hidup yang baik. “Dalam hal ini, kuantitas menentukan kualitas.”
Faktanya, tidak banyak orang yang memiliki kualitas hidup semacam itu. Perlu waktu dan sejarah panjang untuk mengembangkan nilai hidup yang baik dari tingkat individu menjadi nilai bangsa. “Harus ada saling gesek untuk menularkan. Soalnya, dari keluarga saja belum tentu nilai-nilai yang baik milik orangtuanya secara otomatis tertular ke anak-anaknya,” kata mantan dosen Universitas Gadjah Mada dan Sanata Dharma Yogyakarta itu.
Pada paparan sehari sebelumnya, Ketua Dewan Sesepuh Sangha Theravada Indonesia Bhikku Dhammasubho Mahathera memprihatinkan runtuhnya nilai-nilai hidup berketuhanan. Harga materi ditempatkan di atas harga diri; harga diri jatuh sambil disorot kamera televisi tidak dianggap risi, demi materi yang dianggap lebih tinggi.
Menurut dia, masyarakat berketuhanan sejati adalah yang tidak ada pemerasan kelas oleh kelas. Masyarakat yang mencapai manunggaling kawula lan Gusti tidak lagi berkembang di dalamnya pemerasan manusia oleh manusia. (GSA)

Sumber: Kompas, Jumat, 7 September 2007

Global Warming KB /TK Ya_Abunaya Bojonegoro

Posted by gadhing Property 0 comments


Untuk mencapai pengurangan 26 persen karbon dioksida hingga 2020, Pemerintah hendaknya mengeluarkan larangan pembukaan hutan untuk perkebunan. Perluasan perkebunan dapat diakukan dengan memanfaatkan lahan kritis atau lahan terlantar yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hal ini dikemukakan Rachmat Witoelar, selaku Ketua Pelaksana Dewan Nasional Perubahan Iklim pada hari pertama Simposium ke-4 GEOSS (Global on Earth Observation System of Systems) Asia-Pasifik, di Hotel Sanur Paradise Plaza, Bali, Rabu (10/3/2010). Simposium yang dilaksanakan hingga Jumat (12/3) diselenggarakan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional mewakili Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Sekretariat Global on Earth Observation dan Pemerintah Jepang. Pertemuan ilmiah ini dihadiri oleh sekitar 200 peserta dari 26 negara di Asia-Pasifik.
Pengurangan emisi karbon tersebut terdiri dari enam persen dari sektor energi, enam persen dari pengelolaan limbah, dan 14 persen untuk pengelolaan lahan hutan. Selain itu juga ditargetkan penurunan jumlah hotspot (titik api) kebakaran hutan atau lahan sekitar 20 persen per tahun.
Sementara itu menurut Menteri Riset dan Teknologi, Suharna Surapranata untuk memenuhi target pengurangan emisi yang dicanangkan Presiden RI itu, diperlukan penguasaan teknologi hijau atau ramah lingkungan dan pengembangan jejaring sistem observasi bumi secara global.
Teknologi hijau tersebut harus mencakup 9 elemen atau Societal Benefit Area yaitu kebencanaan, kesehatan, energi, air, iklim, cuaca, ekosistem pertanian dan keragaman hayati. Ia mengharapkan pertemuan ini dapat memperkuat kerjasama regional untuk penelitian keragaman hayati, kehutanan dan penelusuran sumber karbon di Asia Pasifik
Pembahasan utama dalam Simposium GEOSS kali ini, jelas Agus Hidayat selaku Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lapan yakni mengenai perubahan iklim, keragaman hayati dan sumberdaya air. "Perubahan iklim memang menjadi masalah global yang menjadi perhatian banyak negara di dunia, yang menjalin kerja sama untuk mengurangi dampak tersebut," ujar Agus.
Menurut mantan Kepala Lapan ini, tekad pengurangan CO2 ini dapat terealisasi dengan cara pengelolaan hutan yang benar. Peran Indonesia yang dimotori Lapan dalam upaya ini yakni memantau hutan dengan satelit penginderaan jauh (remote sensing).
Upaya ini telah dilakukan dengan menggalang kerja sama dengan Australia. Dengan negara ini juga disusun program penyusunan neraca karbon nasional. Tahun ini akan diselesaikan untuk Sumatera dan Kalimantan.
Untuk memantau hutan dan lahan disediakan data satelit, tenaga ahli, dan infrastruktur terkait. Dengan cara pemantauan efektif dan akurat yang dibantu jaringan internasional, Indonesia dapat membuktikan kepada dunia dapat berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon.
Simposium GEOSS
Simposiun GEOSS ini juga berfungsi sebagai wadah negara di Asia-Pasifik untuk bertukar informasi dan pemahaman dalam menangani perubahan iklim. Hasil pertemuan tersebut nantinya akan menjadi rekomendasi untuk GEO Ministerial Summit di Beijing, China, pada November mendatang.
Pertemuan ini bertujuan memperkuat jejaring internasional antar negara-negara anggota. Jaringan tersebut akan membentuk sinergi nasional, regional, dan internasional dalam membangun jejaring observasi bumi untuk kesejahteraan masyarakat.
"Ada empat working group (kelompok kerja) yang akan menjadi fokus dalam simposium ini," jelas Ratih Dewanti selaku Kepala Biro Human Lapan, yakni Kapasitas pemantauan dan variabilitas iklim Asia-Pasifik, Manajemen Sumber Daya Air dan Hidrometeorologi Terkait dengan Bencana Alam, Pemantauan Karbon Hutan; dan Jaringan Observasi Biodiversity di Asia-Pasifik.
Pertemuan GEOSS merupakan kolaborasi internasional untuk menggali potensi pengamatan bumi guna mengatasi masalah lingkungan di dunia. Anggotanya adalah organisasi internasional dan pemerintah yang berhubungan dengan kegiatan pengamatan bumi. Ada sembilan lingkup kegiatan GEOSS yakni bencana alam, kesehatan, energi, iklim, air, cuaca, ekosistem, pertanian, dan keragaman hayati.

dikutip dari : 
Stop Pembukaan Hutan untuk Perkebunan
Laporan wartawan KOMPAS Yuni Ikawati
Kamis, 11 Maret 2010 | 07:16 WIB

Sasty

 

gadhing property Template by Ayah Bojonegoro | 2012