Bila rasa takut anak sudah mencapai puncak, maka orangtua pun cemas.
Kondisikan anak-anak menjadi pemberani.
Sebenarnya, banyak hal yang sewaktu-waktu bisa menjadi momok bagi anak balita. Berdasarkan pengalaman menangani kasus pada anak takut, dr. Ika Wijaya, SpKJ, seorang psikiatri FKUI-RSUPN mengidentifikasi beberapa jenis rasa takut dan cara mengatasinya sebagai berikut.
1. Takut Berpisah
Biasanya anak selalu cemas saat berpisah dengan orang terdekatnya, walau hanya sesaat, terutama ibu yang selama tiga tahun pertama menjadi figur paling dekat. Figur ibu tak selalu harus berarti ibu kandung, melainkan bisa juga pengasuh, kakek-nenek, ayah, atau siapa saja yang memang dekat dekat dengan anak.
Cara Mengatasi :
Jelaskan pada buah hati, mengapa ibu harus pergi. Begitu juga penjelasan dengan waktu, meski anak pada usia ini belum sepenuhnya mengerti kapan pagi, siang sore dan malam. Kondisikan anak dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, misalnya orangtua mengatakan, "Nanti, waktu kamu makan sore, Ibu sudah pulang." Jika tak bisa pulang sesuai waktu yang dijanjikan, beritahukanlah anak lewat telepon. Sebab, anak akan terus menunggu dan ini justru bisa menambah rasa takut anak. Ia akan terus cemas bertanya-tanya, kenapa sang Ibu belum datang.
Jelaskan pada buah hati, mengapa ibu harus pergi. Begitu juga penjelasan dengan waktu, meski anak pada usia ini belum sepenuhnya mengerti kapan pagi, siang sore dan malam. Kondisikan anak dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, misalnya orangtua mengatakan, "Nanti, waktu kamu makan sore, Ibu sudah pulang." Jika tak bisa pulang sesuai waktu yang dijanjikan, beritahukanlah anak lewat telepon. Sebab, anak akan terus menunggu dan ini justru bisa menambah rasa takut anak. Ia akan terus cemas bertanya-tanya, kenapa sang Ibu belum datang.
2. Takut Orang Asing
Pada usia-usia awal, anak memang mau digendong dengan siapa saja. Namun pada usia 8-9 bulan biasanya mulai muncul ketakutan atau sikap menjaga jarak pada orang yang belum begitu dikenalnya. Ini normal karena anak sudah mngenali orang. Ia mulai sadar, mana orangtuanya dan mana orang lain.
Pada usia-usia awal, anak memang mau digendong dengan siapa saja. Namun pada usia 8-9 bulan biasanya mulai muncul ketakutan atau sikap menjaga jarak pada orang yang belum begitu dikenalnya. Ini normal karena anak sudah mngenali orang. Ia mulai sadar, mana orangtuanya dan mana orang lain.
Cara Mengatasi :
Pada usia balita seharusnya rasa takut pada orang asing sudah mulai berangsur hilang. Sebab, biasanya anak sudah bereksplorasi. Semestinya anak sudah memperoleh cukup pengetahuan untuk menyadari bahwa tak semua orang asing itu menjadi ancaman.
Biasanya, justru karena orangtua kerap menakut-nakuti sehingga anak bersikap seperti itu. "Awas, jangan dekat-dekat sama orang yang belum kamu kenal. Nanti diculik, lo!" Memang boleh-boleh saja orang tua menasehati anak untuk bersikap hati-hati pada orang asing, tapi sewajarnya saja dan bukan dengan cara menakut-nakutinya.
3. Takut Dokter
Anak pernah mengalami hal tak mengenakkan, seperti disuntik. Karenanya, ia jadi takut kepada sosok tertentu. Belum lagi kalau orangtua rajin "mengancam" setiap kali anak dianggap nakal. "Nanti disuntik dokter, lo, kalau makannya gak habis!"
Pada usia balita seharusnya rasa takut pada orang asing sudah mulai berangsur hilang. Sebab, biasanya anak sudah bereksplorasi. Semestinya anak sudah memperoleh cukup pengetahuan untuk menyadari bahwa tak semua orang asing itu menjadi ancaman.
Biasanya, justru karena orangtua kerap menakut-nakuti sehingga anak bersikap seperti itu. "Awas, jangan dekat-dekat sama orang yang belum kamu kenal. Nanti diculik, lo!" Memang boleh-boleh saja orang tua menasehati anak untuk bersikap hati-hati pada orang asing, tapi sewajarnya saja dan bukan dengan cara menakut-nakutinya.
3. Takut Dokter
Anak pernah mengalami hal tak mengenakkan, seperti disuntik. Karenanya, ia jadi takut kepada sosok tertentu. Belum lagi kalau orangtua rajin "mengancam" setiap kali anak dianggap nakal. "Nanti disuntik dokter, lo, kalau makannya gak habis!"
Cara mengatasi :
Izinkan anak membawa benda atau mainan kesayangannya saat datang ke dokter sehingga ia merasa aman dan nyaman, Di rumah, orang tua bisa membantunya dengan menyediakan mainan berupa perangkat dokter. Biarkan anak menjalani peran dokter dengan boneka sebgai pasiennya. Secara berkala ajak anak ke dokter gigi untuk menjaga kesehatan giginya. Tak ada salahnya juga memngajak dia saat orangtua atau kakak/adiknya berobat gigi. Dengan begitu anak memperoleh informasi bagaimana dan ke mana ia harus pergi untuk menjaga kesehatan giginya. Lambat laun ketakutannya pada sosok dokter justru berganti menjadi kekaguman.
4. Takut Hantu
"Hi, di situ ada hantunya. Ayo, jangan main di situ!" Gara-gara sering diancam dan ditakuti seperti itu, balita yang sebelumnya belum mengerti sama sekali tentang hantu, jadi tahu dan takut. Bisa juga karena ia menonton film horor di televisi.
Izinkan anak membawa benda atau mainan kesayangannya saat datang ke dokter sehingga ia merasa aman dan nyaman, Di rumah, orang tua bisa membantunya dengan menyediakan mainan berupa perangkat dokter. Biarkan anak menjalani peran dokter dengan boneka sebgai pasiennya. Secara berkala ajak anak ke dokter gigi untuk menjaga kesehatan giginya. Tak ada salahnya juga memngajak dia saat orangtua atau kakak/adiknya berobat gigi. Dengan begitu anak memperoleh informasi bagaimana dan ke mana ia harus pergi untuk menjaga kesehatan giginya. Lambat laun ketakutannya pada sosok dokter justru berganti menjadi kekaguman.
4. Takut Hantu
"Hi, di situ ada hantunya. Ayo, jangan main di situ!" Gara-gara sering diancam dan ditakuti seperti itu, balita yang sebelumnya belum mengerti sama sekali tentang hantu, jadi tahu dan takut. Bisa juga karena ia menonton film horor di televisi.
Cara mengatasi :
Jauhkan anak dari tontonan film-film misteri. Orang tua pun jangan pernah menakut-nakuti anak hanya demi kepentingannya. Lebih baik anak dikondisikan dengan pendekatan cerita-cerita relijius yang semakin menambah nilai mentalitas keberaniannya.
5. Takut Gelap
Terkadang masih ada saja ditemukan orangtua yang tidak bijaksana. Karena anak bersalah, ia dihukum dengan dikurung di ruang gelap. Perlakuan orangtua seperti ini akan membahayakan mentalitas anak. Bila pengalaman pahit itu membekas, bukan tidak mungkin rasa takutnya akan menetap sampai usia dewasa. Ia akan keluar keringat dingin atau malah jadi sesak napas setiap kali berada di ruang gelap atau menjerit-jerit kala listrik mendadak padam.
Jauhkan anak dari tontonan film-film misteri. Orang tua pun jangan pernah menakut-nakuti anak hanya demi kepentingannya. Lebih baik anak dikondisikan dengan pendekatan cerita-cerita relijius yang semakin menambah nilai mentalitas keberaniannya.
5. Takut Gelap
Terkadang masih ada saja ditemukan orangtua yang tidak bijaksana. Karena anak bersalah, ia dihukum dengan dikurung di ruang gelap. Perlakuan orangtua seperti ini akan membahayakan mentalitas anak. Bila pengalaman pahit itu membekas, bukan tidak mungkin rasa takutnya akan menetap sampai usia dewasa. Ia akan keluar keringat dingin atau malah jadi sesak napas setiap kali berada di ruang gelap atau menjerit-jerit kala listrik mendadak padam.
Cara Mengatasi :
Saat tidir malam, jangan biarkan kamar anak gelap gulita. Paling tidak, biarkan lampu tidur yang redup tetap menyala. Cara lain, biarkan boneka atau benda kesayangannya tetap menemaninya, seolah temannya hingga anak tak perlu takut. Selain itu, sugestikan keberanian anak dengan mengajarinya doa-doa.
6. Takut Berenang
Sangat jarang anak usia balita takut air. kecuali kalau dia pernah mengalami hal tak mengenakkan semisal tersedak atau malah nyaris tenggelam saat berenang.
Saat tidir malam, jangan biarkan kamar anak gelap gulita. Paling tidak, biarkan lampu tidur yang redup tetap menyala. Cara lain, biarkan boneka atau benda kesayangannya tetap menemaninya, seolah temannya hingga anak tak perlu takut. Selain itu, sugestikan keberanian anak dengan mengajarinya doa-doa.
6. Takut Berenang
Sangat jarang anak usia balita takut air. kecuali kalau dia pernah mengalami hal tak mengenakkan semisal tersedak atau malah nyaris tenggelam saat berenang.
Cara Mengatasi :
Lakukan pembiasaan secara bertahap. Pertama-tama, biarkan anak-anak sekedar merendam kakinya atau menciprat-cipratkan air di kolam mainan sambil tetap mengenakan pakaian renang. Bisa juga dengan memasukkan anak dengan memasukkan anak ke klub renang yang ditangani ahlinya atau dengan sering mengajaknya berenang bersama dengan saudara atau teman-teman seusianya. Tentu saja sambil terus didampingi dan dibangun keyakinan dirinya bahwa berenang sungguh menyenangkan, hingga tak perlu takut. Kalau pun anak tetap takut, jangan pernah memaksa apalagi memarahi atau melecehkan rasa takutnya.
7. Takut Serangga
Tak sedikit anak yang takut pada cicak, jangkrik, kecoa atau hewan serangga lainnya. Sebetulnya ini wajar. Orangtua tak boleh menabahi ketakutan anak dengan menakut-nakutinya. Tapi harus bisa memahaminya. Sebab, anak kecil itu mungkin saja menemukan banyak hal yang dapat membuatnya takut.
Lakukan pembiasaan secara bertahap. Pertama-tama, biarkan anak-anak sekedar merendam kakinya atau menciprat-cipratkan air di kolam mainan sambil tetap mengenakan pakaian renang. Bisa juga dengan memasukkan anak dengan memasukkan anak ke klub renang yang ditangani ahlinya atau dengan sering mengajaknya berenang bersama dengan saudara atau teman-teman seusianya. Tentu saja sambil terus didampingi dan dibangun keyakinan dirinya bahwa berenang sungguh menyenangkan, hingga tak perlu takut. Kalau pun anak tetap takut, jangan pernah memaksa apalagi memarahi atau melecehkan rasa takutnya.
7. Takut Serangga
Tak sedikit anak yang takut pada cicak, jangkrik, kecoa atau hewan serangga lainnya. Sebetulnya ini wajar. Orangtua tak boleh menabahi ketakutan anak dengan menakut-nakutinya. Tapi harus bisa memahaminya. Sebab, anak kecil itu mungkin saja menemukan banyak hal yang dapat membuatnya takut.
Cara Mengatasi :
Boleh saja orangtua memberi pengenalan tentang alam binatang pada anak. Tak perlu kelewat detail. Tugas orangtua sebatas memahami ketakutan anak sekaligus membantunya merasa aman. Boleh saja mengatakan, "Ayah tahu kamu takut jangkrik." Jangan paksa anak berada terus-menerus dalam pembicaraan mengenai rasa takutnya. Jangan pula memaksa anak bersikap sok berani menghadapi ketakutannya. Ini hanya akan membuat anak semakin takut. Bila dipaksakan terus, anak mala bisa fobia pada serangga. Biarkan anak tertarik dengan sendirinya dan biasanya ini terjadi setelah anak berusia dua tahunan. Jika anak memang takut kala ada serangga yang terbang didekatnya, bantulah untuk mengusirnya bersama.
8. Takut Masuk Sekolah
Tak mudah melepas anak usia balita masuk sekolah. Sebab, ia harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Padahal, tak semua anak gampang beradaptasi. Dari pihak orangtua, tak sedikit pula yang justru tak rela melepas anaknya "sekolah" karena khawatir anaknya terjatuh kala bemain atau didorong temannya.
Boleh saja orangtua memberi pengenalan tentang alam binatang pada anak. Tak perlu kelewat detail. Tugas orangtua sebatas memahami ketakutan anak sekaligus membantunya merasa aman. Boleh saja mengatakan, "Ayah tahu kamu takut jangkrik." Jangan paksa anak berada terus-menerus dalam pembicaraan mengenai rasa takutnya. Jangan pula memaksa anak bersikap sok berani menghadapi ketakutannya. Ini hanya akan membuat anak semakin takut. Bila dipaksakan terus, anak mala bisa fobia pada serangga. Biarkan anak tertarik dengan sendirinya dan biasanya ini terjadi setelah anak berusia dua tahunan. Jika anak memang takut kala ada serangga yang terbang didekatnya, bantulah untuk mengusirnya bersama.
8. Takut Masuk Sekolah
Tak mudah melepas anak usia balita masuk sekolah. Sebab, ia harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Padahal, tak semua anak gampang beradaptasi. Dari pihak orangtua, tak sedikit pula yang justru tak rela melepas anaknya "sekolah" karena khawatir anaknya terjatuh kala bemain atau didorong temannya.
Cara Mengatasi :
Orangtua tetap selalu mengantar anak ke sekolah. Sebab, ini menyangkut soal pembiasaan. Kalau pun dihari-hari berikutnya ada sekolah-sekolah yang bersikap tegas hanya membolehkan orangtua menunggu diluar, sampaikan informasi ini pada anak. Guru pun harus bisa menarik perhatian anak agar tidak terfokus pada ketiadaan pendampingan orantuanya dengan bermain. Saat asik bermain dengan teman-temannya, tentu ia akan lupa.
Orangtua tetap selalu mengantar anak ke sekolah. Sebab, ini menyangkut soal pembiasaan. Kalau pun dihari-hari berikutnya ada sekolah-sekolah yang bersikap tegas hanya membolehkan orangtua menunggu diluar, sampaikan informasi ini pada anak. Guru pun harus bisa menarik perhatian anak agar tidak terfokus pada ketiadaan pendampingan orantuanya dengan bermain. Saat asik bermain dengan teman-temannya, tentu ia akan lupa.
(Sumber:Ust. M. Azhari Hatim, MA. Pemerhati masalah keluarga)